Anak Berkemampuan Khusus : Anti Sosial



 Anak Berkemampuan Khusus : Anti Sosial

A.    Pengertian
Perilaku antisocial adalah tingkah laku yang ditampilkan oleh seseorang yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. Anak yang menampilkan perilaku antisocial akan berada dalam konflik dengan lingkungannya. Ada bermacam perilaku antisosial yang dilakukan seorang anak, diantaranya yaitu tidak patuh, tidak jujur (menipu, mencuri , menyontek), merusak membakar, dan kabur dari sekolah.
Pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang tua maupun guru adalah, „bagaimana cara saya mendidik anak agar mau melakukan apa yang saya perintahkan?“. Dari pertanyaan di atas dapat kita simpulkan intinya adalah konsep kepatuhan.
Kepatuhan adalah melakukan apa yang diminta oleh orang lain (dalam hal ini adalah orang tua atau guru) dengan tepat dan sesuai. Kebanyakan anak menunjukkan ketidakpatuhan terhadap perintah orang tua (atau mungkin gurunya), bahkan dimulai saat anak masih sangat muda, yaitu di usia 2-3 tahun. Pada usia ini anak telah memiliki keinginannya sendiri, sehingga menjadi hal yang berat bagi anak ketika mereka harus melakukan apa yang disuruh oleh orang lain (orang tua atau guru), suka ataupun tidak. Penolakan pada perintah yang tidak mereka sukai inilah yang melahirkan perilaku tidak patuh.
Adanya sikap penolakan pada anak-anak prasekolah terhadap lingkungan sosialnya sesungguhnya adalah hal yang wajar dan menjadi bagian dari proses perkembangan alamiah. Anak-anak ini mulai tumbuh sebagai pribadi, memiliki keinginannya sendiri, dan memunculkan egonya. Ia mulai ingin membedakan dirinya dengan orang lain. Sikap ingin berbeda ini ditunjukkan anak dengan memunculkan negatifistik, misalnya bila orang menyuruhnya melakukan sesuatu maka ia akan menolaknya. Hal inilah yang kemudian dipersepsi oleh orang dewasa sebagai tanda bahwa anak sudah berani membantah, sulit diatur, dan tidak patuh lagi.
Walaupun perilaku tersebut di atas merupakan tahapan perkembangan yang wajar bagi seorang anak, hal ini tidak berarti bahwa anak dibiarkan saja berlaku demikian. Anak masih berada dalam tahap terus belajar dan berkembang, sehingga ia membutuhkan respons atau perlakuan dari orang dewasa di sekitarnya yang akan menuntun perkembangan anak ke arah yang diharapkan. Disinilah anak mulai berkenalan dengan adanya aturan dan konsep ‚kedisiplinan‘.

B.    Karakteristik
Menurut Schaefer dan Millman (1981), ada 3 karakteristik anak anti sosial atau anak yang tidak patuh, yaitu :
1.      The Passive Resistant Type, yaitu anak menjadi diam atau menghindari perintah dengan cara pasif, mengikuti perintah tetapi dengan setengah hati.
2.      The Openly Defiant Type, yaitu anak secara langsung menolak perintah secara verbal,
3.      The Spiteful Type of Noncompliance, yaitu anak melakukan hal yang sebaliknya dari yang diperintahkan.

Jika ketidakpatuhan di atas tadi menjadi cara hidup anak, maka perbuatan ini akan meningkat menjadi kebiasaan negatifistik, di mana mereka akan selalu menolak pendapat dan prinsip yang dikemukakan oleh orang lain. Mereka tidak akan setuju dengan pendapat orang lain dalam segala bentuk, tanpa alasan yang jelas untuk ketidaksetujuannya itu.

C.     Klasifikasi

D.   Penyebab anak anti social
Schaefer dan William (1981) juga menjelaskan berbagai penyebab yang mendasari terjadinya sikap ini, di antaranya adalah:
1.      Kurangnya disiplin, orang tua terlalu bersikap permisif dan sulit untuk mengatakan „tidak“ pada anak. Sehingga anak ‘belajar’ bahwa segala keinginannya pasti akan dituruti oleh orang tua. Hal ini membuat anak berani menolak hal-hal yang diperintahkan yang tidak disukainya.
2.      Pemberian disiplin yang sangat keras, orang tua menuntut anak untuk berlaku perfect (sempurna), mereka cenderung memaksa dan menginginkan disiplin ’instant’ pada anak. Pemaksaan dan tuntutan yang berlebihan terhadap anak ini membuat anak melawan dan ‘protes’ dengan berperilaku yang sebaliknya.
3.      Pemberian disiplin yang tidak konsisten, kadang orang tua melarang kadang mereka membiarkan anak berlaku hal yang sama. Ketidakkonsistenan yang ditunjukkan orang tua membuat anak bingung dan kemudian ‘mencoba-coba’ untuk menolak perintah orang tua, siapa tahu kali ini ia berhasil untuk tidak jadi melakukan hal yang diperintahkan.
4.      Orang tua berada dalam setres atau konflik. Salah satu atau kedua orang tua menghindari peran pengasuhan anak dikarenakan kesibukan, ketidaktertarikan pada anak, masalah pribadi, atau adanya masalah dalam perkawinan. Hal ini juga mengakibatkan ketidak-konsistenan dan ketidakseragaman pengasuhan atau aturan yang diterapkan oleh kedua orang tua. Sehingga anak kembali menjadi bingung dan malah melawan.
5.      Anak-anak biasanya sulit untuk patuh bila mereka lelah, sakit, lapar, atau sedang ada tekanan emosional. Keadaan fisik yang tidak baik membuat seseorang tidak dapat berpikir positif. Perasaan negative lebih banyak muncul dan hal ini membuat anak tidak bersedia mematuhi hal yang diperintahkan.
E.     Penanganan anak yang tidak patuh
Anak yang tidak patuh berarti tidak dapat menjalin kerja sama yang baik dengan Anda, karena setiap kali Anda memintanya melakukan sesuatu maka ia akan selalu menolaknya atau melakukan hal yang sebaliknya. Sesungguhnya kunci dari harapan adanya kerja sama dengan anak ialah menghindari perilaku kekuasaan (pola asuh autoritharian) atau perilaku mengalah (pola asuh permisif) yang ekstrim.
Sebagai seorang guru, Anda jangan bertindak sebagai ‘bos’ atau ‘bawahan’ bagi anak didik Anda. Jangan jadi diktator ! jangan memberi perintah langsung bila ingin apa yang Anda minta dilakukan dengan baik oleh anak. Bentuk permintaan atau saran akan lebih baik dibandingkan dengan perintah langsung dimana akan tampak peran sebagai diktator atau bos dan anak akan merasa direndahkan atau dipaksakan.
Walaupun demikian kita juga tidak dapat melepaskan anak begitu saja untuk melakukan semua keinginannya. Anak masih belum memahami mana hal yang baik dan mana hal yang buruk untuk dilakukan. Tugas kita adalah mengajarinya untuk  berbuat baik. Bukan mengikuti semua keinginannya seperti seorang ‘bawahan’. Berikan ajaran dan alasan yang jelas agar anak tidak bingung. Jika mungkin, berikan anak kesempatan untuk bersama membuat aturan baginya. Anak biasanya akan lebih menerima dan mau menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri dengan baik.
Jadi apa yang harus dilakukan, bila Anda tidak boleh menjadi ‚atasan‘ ataupun ‚bawahan‘ bagi anak didik Anda? Tindakan yang harus Anda lakukan ialah mencoba menempatkan diri berada di tengah-tengah. Anda dapat menciptakan pola asuh authoritative, yaitu menciptakan aturan yang dikombinasikan dengan cinta dan alasan yang jelas dan cara penyampaiannya dapat diterima oleh anak. Contohnya sebagai berikut:
Biasanya pada jam istirahat makan, Adelia (5 tahun) yang terkenal sangat aktif akan segera menghabiskan kue bekalnya untuk kemudian berlarian keliling ruangan. Hari senin ini, Adel tampak tidak berselera dengan bekal roti yang dibawanya. Belum habis ia memakan bekalnya, ia langsung berlarian sambil menumpah-numpahkan air minumnya ke lantai kelas. Ibu Raisha, guru kelas yang melihat kejadian itu, segera membawa Adel ke bagian belakang kelas. Di sana ia melarang Adel untuk menumpahkan air minumnya di sekeliling kelas. Awalnya Adel menolak bahkan berteriak meminta tangannya untuk dilepaskan. Kemudian dengan sabar, Ibu Raisha meminta Adel untuk memikirkan apa yang akan terjadi jika lantai kelas basah. Merasa bahwa ia ditantang untuk menjawab pertanyaan. Adelia yang memang sesungguhnya anak yang pintar segera menjawab, bahwa lantai jadi becek dan licin sehingga temannya bisa terpeleset jatuh. Ibu Raisha segera memuji jawaban Adel, dan menambahkan bahwa yang jatuh kemungkinan juga Adel dan Ibu Raisha tidak ingin Adel maupun anak yang lain jadi jatuh, sakit, dan basah bajunya. Adel kemudian berkata bahwa ia tidak ingin jatuh dan berjanji tidak akan menumpahkan air minumnya ke lantai kelas lagi.
Menurut Ibu Raisha, penyelesaian masalah tidak pernah semudah ini sebelumnya. Adel memang terkenal anak yang usil dan sangat aktif, didukung oleh statusnya sebagai anak tunggal yang cukup dimanja di dalam keluarganya. Biasanya bila Adel dirasa berbuat, nakal, maka guru akan segera menegur dan melarangnya dengan memberikan nasihat panjang lebar yang membuat anak semakin melawan. Kali ini strategi diganti dengan meminta jawaban tentang konsekuensi yang dapat dipikirkan oleh anak sendiri. Karena merasa diperhatikan dan dihargai maka Adel pun menurut bahkan mau membantu Ibu guru membersihkan lantai yang basah.
Pemberian perhatian dan kepercayaan pada anak ini dilakukan dalam bentuk memberikan kesempatan bagi anak untuk mengontrol sendiri sesuatu yang akan dilakukannya. Dalam hal ini yang menjadi peran utama dalam proses pembelajaran adalah anak dan bukan guru. Tentu saja guru tetap memberikan panduan akan hasil yang diharapkan serta aturan yang harus diterapkan. Dengan demikian, anak yang biasanya melawan figur otoritas (guru) karena dianggap terlalu berkuasa, dapat merasa bahwa dirinya berarti dan dihargai.
Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa pada akhirnya anak menyadari bila ia dilarang berbuat sesuatu dan diminta untuk patuh itu karena orang tua/guru sayang padanya dan dengan alasan tepat yang baik bagi kehidupannya. Yang harus diperhatikan kemudian ialah bahwa tuntutan yang diberikan kepada seorang anak harus seimbang  dengan kehangatan, alasan yang tepat, penghargaan, dan tanggung jawab terhadap kebutuhan anak. Ketika anak merasakan bahwa batasan dan cinta yang dirasakannya  seimbang, kecenderungan untuk membantah akan berkurang.
Hal lain yang penting dalam membangun hubungan kerja sama yang baik dengan seorang anak adalah menciptakan hubungan yang akrab dengan anak. Semakin guru dan siswa saling menyukai, semakin baik anak akan menerima arahan gurunya. Bayangkan jika Anda bersahabat dengan teman Anda, maka Anda akan berusaha untuk selalu menyenangkannya. Jadi berikanlah perhatian atau sisihkan waktu anda untuk memperhatikan ia pada saat belajar ataupun bermain.
Hal ketiga yang harus dilakukan adalah berbuat responsive. Ketika siswa Anda membutuhkan Anda, maka Anda harus siap-ada untuk dia. Semakin sering Anda menolak permintaan anak, maka semakin sering anak akan menolak instruksi Anda. Ini adalah prinsip hukum reciprocity (hubungan sebab-akibat/timbal-balik).
Penelitian yang berhubungan dengan hal di atas, menunjukkan bahwa kepatuhan seorang anak dibentuk saat ia masih bayi, ketika orang tua cepat tanggap terhadap tanda-tanda yang dikeluarkan bayi (jika bayi menangis orang tua akan segera memberikan respons), Orang tua yang sensitive yaitu yang mengerti tentang keinginan, harapan dan aktivitasnya, akan memiliki anak-anak yang mau memberikan respons terhadap arahan orang tuanya. Jadi semakin Anda bersikap kooperatif terhadap anak, dan semakin sensitive anda terhadap kebutuhan dan keadaan emosionalnya, maka semakin Anda dapat membuat anak yang patuh. Hasil penelitian ini mungkin dapat menjadi renungan bagi Anda sebagai seorang pendidik!
Satu hal yang tidak boleh terlupakan dalam mengajarkan seorang anak berperilaku patuh dan baik ialah “memberikan contoh”! jika Anda memiliki sikap yang positif terhadap kekuasaan dan hukum, maka anak didik Anda akan memberikan penghargaan kepada kekuasaan atau tokoh otoritas. Yang penting diingat ialah anak adalah makhluk yang sangat mudah meniru.
Seorang anak, khususnya anak yang baru masuk TK untuk pertama kalinya akan berhadapan dengan berbagai aturan yang tidak ditemuinya di rumah. Saat ini anak akan diminta untuk disiplin waktu, tidak terlambat datang ke sekolah, pergi sekolah dengan berpakaian seragam yang sama dengan kawan-kawannya, belajar berbagi mainan dengan teman yang lain, dan berbagai aturan-aturan baru yang menuntut anak untuk menjalankan dan mematuhinya. Tentu saja tuntutan-tuntutan semacam ini akan membuat anak sedikit ‘kaget’ dan bahkan mengakibatkan ‘stres’ atau ‘pembangkangan’ bagi sebagian anak yang lain. Anda sebagai guru TK harus dapat memahaminya dan melihat setiap kasus secara individual.
Aturan yang dibuat dan batasan perilaku yang diharapkan ataupun yang dilarang harus jelas, spesifik, dan konsisten diberlakukan agar anak tidak bingung. Bila anak melanggar aturan yang diberikan atau anak tidak patuh, Anda dapat saja memberikan hukuman baginya asalkan hukuman itu mendidik dan masuk akal. Dengan memberikan aturan yang jelas atas perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang, serta menerapkan konsekuensi yang sesuai atas pelanggaran yang dilakukan akan membantu membentuk struktur serta panduan bagi anak untuk mengarahkan perilakunya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Perpisahan TK Tema Arabian Night

Halo... Apa kabar.?